Teman di sisa hidupku. (Wurry Parluten / 2 Agustus 2013) | pic.twitter.com/19CJXJT4kq
— Wurry Parluten (@Jenderal_Luten) September 24, 2013
Kehilangan ATM di saat genting itu jadi masalah banget buat gw. Ujungnya, gw jd tau bahwa yg teledor adalah gw sendiri.
— Wurry Parluten (@Jenderal_Luten) October 17, 2013
... Ini menunjukkan bahwa gue teledor. Seperti
menampar ke muka sendiri, karena gue sebelumnya mengkritik Nyonya karena dia
teledor. Padahal pada kenyataannya, gue juga teledor. Artinya, memang manusia
gak pernah luput dari yang namanya kekurangan. #Pusing2Amat
Yang paling bikin gw mikir adalah, kebiasaan
saling menyalahkan sesama pasangan. Padahal orang yang paling mengerti kita di
dunia ini, ya... Siapa lagi kalau bukan pasangan kita sendiri? Apalagi kayak
gue, nyaris 11 tahun kami menikah, melewati entah berapa kali pertengkaran,
masak masalah ATM aja bisa bikin heboh? Kan, nggak lucu. Kecuali itu bisa
dijadikan cerita dan jadi duit, baru keren. Hehe... Bener juga, ya?
Gue selalu ingat satu hal, bahwa gue nggak akan
begini tanpa istri gue (Kinanthi).
Waktu gue kere dan pengen buktiin ke orangtua, bahwa gue bisa kok mandiri,
orang yang paling ngerti gue ya Kinanthi. Kita hidup di ruangan 3 x 5 meter,
dan bermimpi agar bisa punya rumah. Kalo inget kondisi saat itu, miris banget
rasanya. Gue aja sampe malu sendiri ngakuin gue tinggal dimana. Tapi paling
nggak, hal itu bisa jadi pelajaran buat siapa pun, bahwa gue dan Kinanthi udah
pernah ngerasain yang namanya susah, dipandang remeh sama orang,
macem-macemlah.
Gue inget salah satu teman dulu (ngakunya sih anak
pensiunan bank ngetooobs) bercerita tentang pernikahannya yang menghabiskan
biaya sekian juta. Hehe, pikir gue. Gue nikah dihadiri tangan kanan Presiden dan Gubernur anteng-anteng aja. Dia juga cerita kalo dibelikan rumah sama
orangtuanya, dimodalin-lah. Pikir gue, gue udah dari zaman kuliah ditawarin
mobil ama bokap, gue aja gak mau. Pokoknya kalo liat dia tengil gitu bawaannya
pengen bejek2 aja (waktu itu, lho). Untung gue ditenangin sama Kinanthi.
Kinanthi selalu menerima gue apa adanya. Kalo dia
minta ini dan minta itu ya wajarlah, namanya minta ke suami. Masak minta ke
tetangga (bahayya, bahayya, bahayya). Dia menerima gue yang hidup miskin, terus ke sana ke
mari pakek motor cicilan, buat nyari duit dengan nulis skenario. Cuma satu
cita-cita gue waktu itu, membelikan dia rumah. Ya, hanya untuk dia. Satu hal
yang sampai sekarang belum tercapai karena berbagai alasan.
Tapi yang namanya keberkahan itu ada saja.
Karena do'a dari Ayah, Ibu, Papa dan Mama... Ternyata apa yang kami lakukan ini
berbuah. Menjelang ulang tahun pernikahan ke-11 ini (masih lama sih, hehe), gue
makin merasa bahwa, gak ada orang yang lebih ngerti gue selain Kinanthi. Gue
mungkin tergoda dengan perempuan lain (secara pemikiran dan inspirasi), tapi
kembali lagi gue hidup di dunia nyata. Mau kayak gimana cantiknya perempuan
itu, yang sekarang ada di hati gue ya cuma... Kinanthi. Bukan sok membanggakan
dia, cuma gak tau gue musti nyari yang model begini kemana lagi? Pasangan yang
mau menerima gue tinggal di ruangan 3 x 5 meter, miskin, masak di kamar mandi,
pokoknya kere, deh. Jadi sangat wajar dia mendapatkan hadiah, bahkan lebih dari
sekedar rumah yang diimpikannya dulu.
Di sini saja, tanpa gue sadari Kinanthi sudah
menjadi sosok yang dikagumi. Bayangin aja lebaran kemaren murid-muridnya datang
ke rumah dan sungkem. Salut! Itu yang membuat gue melepaskan kesombongan yang
gue punya dan memilih kesederhanaan yang ditularkan Kinanthi. Dan ternyata, bokap
sama nyokap sudah merasa nyaman dengan dia. Makin tenanglah hidup gue, karena
buat apa punya istri cantik tapi gak cocok sama keluarga? (pelajaran buat yang
mau merit). Artinya, kalo kita orang kampung, carilah cewek kota yang
respek ke kampung. Bukan cewek kota yang berasa najis kalo lihat orang kampung.
Yang gue gak habis pikir, kok bisa, ya? Ada
perempuan yang dulu jadi rebutan di kampus, yang masuk kategori cewek pandai di
fakultasnya, mau merit sama cowok kurus yang gayanya tengil minta ampun?
Hehe... Ngaku. Cowok yang ngomongnya udah kayak calon konglomerat papan atas di
republik ini, yang seakan-akan bisa menaklukkan semua masalah. Kok bisa?
Kata dia sih simpel, karena YAKIN. Satu hal yang
sampe sekarang gue nggak ngerti, ternyata modal yakin itu doang, semuanya
perlahan-lahan terwujud.
Maka jangan salah, kalo di sini Kinanthi lebih
disegani dibanding gue. Yang lebih miris lagi, bokap sama nyokap gue lebih
sayang ke dia ketimbang ke gue.
Terus siapa dong yang sayang sama gue? Siapa?
SIAPA? Hiks, hiks, hiks...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar